Senin, 14 Januari 2019

MEKANISME DAK



BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, disingkat Bappeda, adalah lembaga teknis daerah dibidang penelitian dan perencanaan pembangunan daerah yang dipimpin oleh seorang kepala badan yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur/Bupati/Wali kota melalui Sekretaris Daerah. Badan ini mempunyai tugas pokok membantu Gubernur/Bupati/Wali kota dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dibidang penelitian dan perencanaan pembangunan daerah.

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah di bentuk berdasarkan pertimbangan :

1.      Bahwa dalam rangka usaha peningkatan keserasian pembangunan di daerah diperlukan adanya peningkatan keselarasan antara pembangunan sektoral dan pembangunan daerah.
2.      Bahwa dalam rangka usaha menjamin laju perkembangan, keseimbangan dan kesinambungan pembangunan didaerah, diperlukan perencanaan yang lebih menyeluruh, terarah dan terpadu.


Ø  Sejarah Bappeda

1.      Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1964 tentang Pembentukan Badan Koordinasi Pembangunan Daerah disingkat BAKOPDA.
2.      Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 51 tahun 1969
3.      Keputusan Presiden Nomor 4 tahun 1969
4.      Keputusan Presiden Nomor 15 tahun 1974, tentang Pembentukan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA).
5.      Keputusan Presiden Nomor 27 Tahun 1980. Tentang Pembentukan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
6.      Keputusan Mendagri Nomor 362 tahun 1997, tentang Pola Organisasi Pemerintah Daerah dan Wilayah.
7.      Keputusan Mendagri Nomor 185 tahun 1980, tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Tingkat I dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Tingkat II.

Ø  Fungsi Bappeda

Adapun beberapa fungsi kerja BAPEDA adalah:
1.    BAPPEDA mempunyai fungsi penyelenggaraan penelitian dibidang pemerintahan pembangunan dan kemasyarakatan, dalam rangka pengembangan pembangunan secara umum.
2.    Penyusunan Pola Dasar Pembangunan Daerah.
3.    Penyusunan REPELITA daerah.
4.    Penyusunan Program Tahunan Daerah
5.    Pelaksanaan kerjasama penelitian dan perencanaan pembangunan daerah dengan lembaga perguruan tinggi dan lembaga lain baik pemerintah maupun swasta.
6.    Pengkoordinasian, perumusan dan penyusunan anggaran pendapatan dan belanja daerah.
7.    Pemantauan dan evaluasi, penelitian dan perencanaan pembangunan daerah.
8.    Penyelenggaraan tugas pembantuan.
9.    Pengelolaan kesekretariatan dan urusan rumah tangga BAPPEDA.
10. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan.

Ø  Struktur organisasi

1.    Kepala badan
2.    Sekretaris
3.    Bidang dan Sub Bidang

MEKAMISME DAK


Secara umum, DAK menyerupai dana Inpres (Instruksi Presiden) yang dikembangkan
di masa Pemerintahan Orde Baru. DAK dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan danBelanja Negara (APBN) untuk membiayai berbagai kegiatan pembangunan khusus di dan oleh daerah. Tujuannya adalah untuk mengurangi kesenjangan pelayanan publik antardaerah dan meningkatkan tanggung jawab pemerintah daerah (pemda) dalam memobilisasi sumber dayanya. Meskipun DAK termasuk ke dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dalam pemanfaatannya, pemda harus mengikuti berbagai regulasi pusat, seperti Undang-undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Presiden, Peraturan/Keputusan Menteri, Surat Edaran Direktur Jenderal, dan Surat Edaran Direktur departemen yang memperoleh alokasi DAK. Dengan banyaknya regulasi pusat tersebut, sangat sedikit daerah yang membuat regulasi untuk memerinci kebijakan pengelolaan DAK. Telaah atas peraturan perundangan menemukan belum tersedianya PP tentang DAK yang diatur secara khusus

sebagaimana diamanatkan oleh UU. PP tentang pengalihan secara bertahap dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan menjadi DAK sampai sekarang belum juga dibuat. Selain itu, berbagai peraturan tentang organisasi, dan tugas dan fungsi departemen/lembaga nondepartemen yang disusun dengan nuansa sentralistik belum disesuaikan dengan UU desentralisasi dan otonomi daerah. Sebagai akibatnya, kebijakan pengelolaan DAK antardepartemen dan antardaerah dapat berbeda. Selain itu, SMERU juga menemukan terdapatnya kebijakan yang sebenarnya memerlukan keseragaman secara nasional namun masih menyediakan ruang bagi ketidakseragaman. Sebaliknya, terdapat juga kebijakan yang seharusnya memberi ruang bagi perbedaan sebagai akibat kondisi antardaerah yang memang berbeda namun justru memaksakan keseragaman secara nasional. Banyak pihak di daerah menilai bahwa regulasi tentang DAK yang dikeluarkan Pemerintah Pusat sering kaliterlambat dan tidak cocok dengan jadwal perencanaan di daerah. Ketika isi keputusan pusat yang terbit terlambat itu ternyata berbeda dengan apa yang diperkirakan daerah sewaktu menyusun APBD, beberapa hal dalam APBD terpaksa harus diubah dan dimusyawarahkan lagi dengan DPRD. Proses seperti ini, selain menyita waktu aparatur pemerintah, juga menghabiskan cukup banyak dana, padahal kemampuan keuangan daerah terbatas.

PP yang mengatur DAK digabung dengan PP yang mengatur dana perimbangan. DAK merupakan salah satu komponen dana perimbangan. Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008 .Dalam praktiknya, pemda menjadi penerima pasif atas hibah DAK meskipun sebenarnya peraturan perundangan memungkinkan daerah untuk secara aktif mengajukan usul. Sejauh ini, pemda hanya bertugas untuk mengirimkan data tentang kondisi sarana dan prasarana bidang-bidang yang memperoleh alokasi DAK. Data tersebut menjadi bahan baku bagi Pemerintah Pusat (khususnyaMenteri Keuangan) dalam mengalokasikan DAK per bidang dan per daerah. Selain itu, penentuan bidang yang menerima alokasi DAK disesuaikan dengan prioritas pembangunan yang tercermin dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Pada 2007, DAK dialokasikan untuk tujuh bidang pelayanan pemerintahan, yaitu pendidikan, kesehatan, infrastruktur, prasarana pemerintahan daerah, kelautandan perikanan, pertanian, dan lingkungan hidup. Pengalokasian DAK mempergunakan kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis. Setelah mengetahui nilai DAK  untuk daerahnya, pemda kemudian
mendistribusikannya ke berbagaikegiatan/proyek sesuai dengan kebijakan Pemerintah
Pusat. Sampai dengan 2005, proporsi alokasi DAK terhadap total belanja APBN masih di
bawah 1%. Pada 2006, proporsinya meningkat hampir dua kali lipat menjadi 1,7% atau
Rp11,6 triliun, sementara proporsi DAU terhadaptotal belanja APBN sebesar hampir
22%. Pada tahun yang sama, dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan berjumlah lebih
dari Rp30 triliun atau 4,4% dari total belanja APBN. Kalau sebagian dana dekonsentrasi
dan tugas pembantuan dialihkan menjadi DAK, dalam beberapa tahun ke depan, proporsi DAK terhadap total belanja APBN dapat mencapai sekitar 5%. Sejak 2003, bidang pelayanan pemerintahan yang selalu memperoleh DAK terbesar adalah pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur, khususnya infrastruktur jalan. Mengenai pengalokasian DAK, sikap pemda mengindikasikan adanyapenilaian bahwa Pemerintah Pusat tidak berlaku transparansehingga pejabat daerah perlu berusaha “melobi Jakarta” untuk mendapatkan alokasiDAK yang lebih besar. Berita mengenai adanya “calo anggaran” beberapa waktu yang lalu menguatkan indikasi ketidakterbukaan pengalokasian DAK. Upaya lobi dilakukan oleh bupati dan/atau
kepala dinas yang bidang tugasnya menerima DAK, bahkan ada pemda yang menyerahkan urusan tersebut kepada sebuah perusahaan swasta. Korelasi alokasi DAK per provinsi
terhadap buruknya kondisi infrastruktur pelayanan publik di bidang pendidikan dasar dan infrastruktur jalan menunjukkan tanda nilai korelasi yang searah dengan tujuan DAK, namun nilainya masih tergolong rendah. Pada bidang kesehatan tanda nilai korelasinya bahkan bertolak belakang. Koordinasi dan komunikasi dalam pengelolaanDAK antarinstansi baik di pusat maupun di daerah, termasuk antara provinsi dan kabupaten/kota, terlihat masih terbatas. Sejauh ini, pemda yang memenuhi kewajiban untuk melaporkan perkembangan penggunaan
DAK-nya setiap tiga bulan berjumlah sangat sedikit. Kemungkinan penyebabnya ada empat hal: (i) Meskipun terdapat regulasi yang memberikan sanksi atas kelalaian pelaporan, Pemerintah Pusat tidak pernah melaksanakannya; (ii) beberapa pemda yang menyampaikan laporan tersebut tidak pernahmendapat respons dari Pemerintah Pusat sehingga akhirnya pemda menjadi bersikaptidak peduli lagi dengan kewajibannya untuk melapor; (iii) sanksi atas kelalaian pelaporan dikenakan kepada daerah, bukan kepada pejabat yang lalai, sehingga pejabat tidak begitu merasa wajib untuk membuat laporan; dan/atau (iv) kapasitas pemda dalam pengelolaan keuangan publik tidak memadai.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar