BADAN
PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, disingkat Bappeda, adalah lembaga
teknis daerah dibidang penelitian dan perencanaan pembangunan daerah yang dipimpin
oleh seorang kepala badan yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada
Gubernur/Bupati/Wali kota melalui Sekretaris Daerah. Badan ini mempunyai tugas
pokok membantu Gubernur/Bupati/Wali kota dalam penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah dibidang penelitian dan perencanaan pembangunan daerah.
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
di bentuk berdasarkan pertimbangan :
1. Bahwa dalam rangka usaha peningkatan
keserasian pembangunan di daerah diperlukan adanya peningkatan keselarasan
antara pembangunan sektoral dan pembangunan daerah.
2. Bahwa dalam rangka usaha menjamin
laju perkembangan, keseimbangan dan kesinambungan pembangunan didaerah,
diperlukan perencanaan yang lebih menyeluruh, terarah dan terpadu.
Ø Sejarah Bappeda
1.
Keputusan
Presiden Nomor 19 Tahun 1964 tentang Pembentukan Badan Koordinasi Pembangunan
Daerah disingkat BAKOPDA.
2.
Keputusan
Menteri Dalam Negeri Nomor 51 tahun 1969
3.
Keputusan
Presiden Nomor 4 tahun 1969
4.
Keputusan
Presiden Nomor 15 tahun 1974, tentang Pembentukan Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah (BAPPEDA).
5.
Keputusan
Presiden Nomor 27 Tahun 1980. Tentang Pembentukan Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah
6.
Keputusan
Mendagri Nomor 362 tahun 1997, tentang Pola Organisasi Pemerintah Daerah dan
Wilayah.
7.
Keputusan
Mendagri Nomor 185 tahun 1980, tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah Tingkat I dan Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah Tingkat II.
Ø Fungsi Bappeda
Adapun beberapa fungsi kerja BAPEDA adalah:
1. BAPPEDA
mempunyai fungsi penyelenggaraan penelitian dibidang pemerintahan pembangunan
dan kemasyarakatan, dalam rangka pengembangan pembangunan secara umum.
2. Penyusunan
Pola Dasar Pembangunan Daerah.
3. Penyusunan
REPELITA daerah.
4. Penyusunan
Program Tahunan Daerah
5. Pelaksanaan
kerjasama penelitian dan perencanaan pembangunan daerah dengan lembaga
perguruan tinggi dan lembaga lain baik pemerintah maupun swasta.
6. Pengkoordinasian,
perumusan dan penyusunan anggaran pendapatan dan belanja daerah.
7. Pemantauan
dan evaluasi, penelitian dan perencanaan pembangunan daerah.
8. Penyelenggaraan
tugas pembantuan.
9. Pengelolaan
kesekretariatan dan urusan rumah tangga BAPPEDA.
10. Pelaksanaan
tugas lain yang diberikan.
Ø Struktur organisasi
1.
Kepala
badan
2.
Sekretaris
3.
Bidang
dan Sub Bidang
MEKAMISME DAK
Secara umum, DAK
menyerupai dana Inpres (Instruksi Presiden) yang dikembangkan
di masa Pemerintahan Orde Baru. DAK
dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan danBelanja Negara (APBN) untuk membiayai
berbagai kegiatan pembangunan khusus di dan oleh daerah. Tujuannya adalah untuk
mengurangi kesenjangan pelayanan publik antardaerah dan meningkatkan tanggung
jawab pemerintah daerah (pemda) dalam memobilisasi sumber dayanya. Meskipun DAK
termasuk ke dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dalam
pemanfaatannya, pemda harus mengikuti berbagai regulasi pusat, seperti
Undang-undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Presiden,
Peraturan/Keputusan Menteri, Surat Edaran Direktur Jenderal, dan Surat Edaran
Direktur departemen yang memperoleh alokasi DAK. Dengan banyaknya regulasi
pusat tersebut, sangat sedikit daerah yang membuat regulasi untuk memerinci
kebijakan pengelolaan DAK. Telaah atas peraturan perundangan menemukan belum
tersedianya PP tentang DAK yang diatur secara khusus
sebagaimana
diamanatkan oleh UU. PP tentang pengalihan secara bertahap dana dekonsentrasi
dan tugas pembantuan menjadi DAK sampai sekarang belum juga dibuat. Selain itu,
berbagai peraturan tentang organisasi, dan tugas dan fungsi departemen/lembaga
nondepartemen yang disusun dengan nuansa sentralistik belum disesuaikan dengan
UU desentralisasi dan otonomi daerah. Sebagai akibatnya, kebijakan pengelolaan
DAK antardepartemen dan antardaerah dapat berbeda. Selain itu, SMERU juga
menemukan terdapatnya kebijakan yang sebenarnya memerlukan keseragaman secara
nasional namun masih menyediakan ruang bagi ketidakseragaman. Sebaliknya,
terdapat juga kebijakan yang seharusnya memberi ruang bagi perbedaan sebagai
akibat kondisi antardaerah yang memang berbeda namun justru memaksakan
keseragaman secara nasional. Banyak pihak di daerah menilai bahwa regulasi
tentang DAK yang dikeluarkan Pemerintah Pusat sering kaliterlambat dan tidak
cocok dengan jadwal perencanaan di daerah. Ketika isi keputusan pusat yang
terbit terlambat itu ternyata berbeda dengan apa yang diperkirakan daerah
sewaktu menyusun APBD, beberapa hal dalam APBD terpaksa harus diubah dan
dimusyawarahkan lagi dengan DPRD. Proses seperti ini, selain menyita waktu
aparatur pemerintah, juga menghabiskan cukup banyak dana, padahal kemampuan
keuangan daerah terbatas.
PP yang mengatur
DAK digabung dengan PP yang mengatur dana perimbangan. DAK merupakan salah satu
komponen dana perimbangan. Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2008 .Dalam
praktiknya, pemda menjadi penerima pasif atas hibah DAK meskipun sebenarnya
peraturan perundangan memungkinkan daerah untuk secara aktif mengajukan usul.
Sejauh ini, pemda hanya bertugas untuk mengirimkan data tentang kondisi sarana
dan prasarana bidang-bidang yang memperoleh alokasi DAK. Data tersebut menjadi
bahan baku bagi Pemerintah Pusat (khususnyaMenteri Keuangan) dalam mengalokasikan
DAK per bidang dan per daerah. Selain itu, penentuan bidang yang menerima
alokasi DAK disesuaikan dengan prioritas pembangunan yang tercermin dalam
Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Pada 2007, DAK dialokasikan untuk tujuh bidang
pelayanan pemerintahan, yaitu pendidikan, kesehatan, infrastruktur, prasarana
pemerintahan daerah, kelautandan perikanan, pertanian, dan lingkungan hidup.
Pengalokasian DAK mempergunakan kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis.
Setelah mengetahui nilai DAK untuk
daerahnya, pemda kemudian
mendistribusikannya ke
berbagaikegiatan/proyek sesuai dengan kebijakan Pemerintah
Pusat. Sampai dengan 2005, proporsi
alokasi DAK terhadap total belanja APBN masih di
bawah 1%. Pada 2006, proporsinya
meningkat hampir dua kali lipat menjadi 1,7% atau
Rp11,6 triliun, sementara proporsi DAU
terhadaptotal belanja APBN sebesar hampir
22%. Pada tahun yang sama, dana
dekonsentrasi dan tugas pembantuan berjumlah lebih
dari
Rp30 triliun atau 4,4% dari total belanja APBN. Kalau sebagian dana
dekonsentrasi
dan
tugas pembantuan dialihkan menjadi DAK, dalam beberapa tahun ke depan, proporsi
DAK terhadap total belanja APBN dapat mencapai sekitar 5%. Sejak 2003, bidang
pelayanan pemerintahan yang selalu memperoleh DAK terbesar adalah pendidikan,
kesehatan, dan infrastruktur, khususnya infrastruktur jalan. Mengenai
pengalokasian DAK, sikap pemda mengindikasikan adanyapenilaian bahwa Pemerintah
Pusat tidak berlaku transparansehingga pejabat daerah perlu berusaha “melobi
Jakarta” untuk mendapatkan alokasiDAK yang lebih besar. Berita mengenai adanya
“calo anggaran” beberapa waktu yang lalu menguatkan indikasi ketidakterbukaan
pengalokasian DAK. Upaya lobi dilakukan oleh bupati dan/atau
kepala
dinas yang bidang tugasnya menerima DAK, bahkan ada pemda yang menyerahkan
urusan tersebut kepada sebuah perusahaan swasta. Korelasi alokasi DAK per
provinsi
terhadap
buruknya kondisi infrastruktur pelayanan publik di bidang pendidikan dasar dan
infrastruktur jalan menunjukkan tanda nilai korelasi yang searah dengan tujuan
DAK, namun nilainya masih tergolong rendah. Pada bidang kesehatan tanda nilai
korelasinya bahkan bertolak belakang. Koordinasi dan komunikasi dalam
pengelolaanDAK antarinstansi baik di pusat maupun di daerah, termasuk antara
provinsi dan kabupaten/kota, terlihat masih terbatas. Sejauh ini, pemda yang
memenuhi kewajiban untuk melaporkan perkembangan penggunaan
DAK-nya
setiap tiga bulan berjumlah sangat sedikit. Kemungkinan penyebabnya ada empat
hal: (i) Meskipun terdapat regulasi yang memberikan sanksi atas kelalaian pelaporan,
Pemerintah Pusat tidak pernah melaksanakannya; (ii) beberapa pemda yang menyampaikan
laporan tersebut tidak pernahmendapat respons dari Pemerintah Pusat sehingga
akhirnya pemda menjadi bersikaptidak peduli lagi dengan kewajibannya untuk
melapor; (iii) sanksi atas kelalaian pelaporan dikenakan kepada daerah, bukan kepada
pejabat yang lalai, sehingga pejabat tidak begitu merasa wajib untuk membuat laporan;
dan/atau (iv) kapasitas pemda dalam pengelolaan keuangan publik tidak memadai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar